Movement! Palangka Raya, Kalimantan Tengah
PDF version:
https://drive.google.com/file/d/0B-mHVGP-Fw5QOGhuMzd3b2o1ZVU/view?usp=sharing
Indonesia itu unik. Terdiri dari banyak pulau dengan beragam suku dan kebudayaan. Bukan rahasia jika banyak orang yang tertarik dengan Indonesia karena keindahan alamnya, keramahan penduduknya, kuliner khas, ragam budaya yang unik, dan persatuan dalam beragama. Dari sekian banyak pulau di Indonesia, Kalimantan termasuk pulau besar yang masih jarang di jamah wisatawan domestik maupun internasional; kecuali mereka yang datang dengan tujuan riset atau bisnis.
Hari pertama di Tumbang Oroi, kami
menginap di pastori setempat. Tentu tidak ada hotel/wisma selayaknya desa
wisata. Sambutan yang sangat hangat oleh vikaris setempat, kami memanggilnya
Kak Nana, bukan penduduk asli Desa Tumbang Oroi, Kak Nana berasal dari Banjar
yang sedang bertugas melayani di desa Tumbang Oroi. Hangatnya sambutan Kak
Nana, membuat kami merasa tidak sedang di “desa orang lain” suasana sangat
santai dan pecah bersama Kak Nana. Menyadari kami adalah orang asing disana,
kami memperkenalkan diri sekaligus meminta izin tinggal beberapa hari kedepan
kepada kepala desa setempat. (lagi,) sungguh sambutan yang sangat hangat dari
mereka dengan mengantar kami dan memberi setiap informasi yang kami butuhkan
tentang segala sesuatu mengenai Desa Tumbang Oroi ini. mengenai do and don’t, adat, kebiasaan dan persfektif penduduk kepada pedatang.
Desa ini sangat jarang menadapatkan kunjungan dari luar, sehingga kami sangat
di sanjung dan mendapatkan sebutan “mahasiswa dari Jakarta”. Hampir dalam
setiap acara, dalam sambutan tokoh masyarakat setempat menyebut kami: Mahasiswa
dari Jakarta, meskipun latar belakang kami notabene dari berbagai kampus yang
berbeda (UI, ITB, IPB, UPR, Unpad dan kampus lainnya). Adanya perbedaan bahasa
dan budaya membuat kami harus menyesuaikan diri. Tidak begitu sulit, karena
anak-anak penduduk sekitar fasih berbahasa Indonesia dan berkenan mengajari
kami bahasa dasar Dayak Ngaju. Sedikit menggunakan catatan ketika kami belajar
bahasa dayak ngaju. Bahasa bahasa
sederhana yang di ajarkan kepada kami seperti bagaimana mengucap salam san
hitungan sederhana serta hirarki keluarga.
Hari ke-2 kami di Desa Tumbang Oroi.
Menikmati
matahari terbit di desa ini dengan segala kehangatannya. Pukul 6 pagi, sudah
terang sekali matahari menyinari desa ini, hangat terasa ketika cahaya matahari
mengenai kulit kami. Hari ini agenda kami adalah untuk mengunjungi rumah-rumah
warga sekaligus beramah tamah. Kami mengunjungi rumah pak Gerisno, seorang
kepala sekolah SDN Tumbang Oroi.
https://drive.google.com/file/d/0B-mHVGP-Fw5QOGhuMzd3b2o1ZVU/view?usp=sharing
Indonesia itu unik. Terdiri dari banyak pulau dengan beragam suku dan kebudayaan. Bukan rahasia jika banyak orang yang tertarik dengan Indonesia karena keindahan alamnya, keramahan penduduknya, kuliner khas, ragam budaya yang unik, dan persatuan dalam beragama. Dari sekian banyak pulau di Indonesia, Kalimantan termasuk pulau besar yang masih jarang di jamah wisatawan domestik maupun internasional; kecuali mereka yang datang dengan tujuan riset atau bisnis.
Pulau dengan luas 743,330
km2 ini, berkontribusi untuk 5 provinsi besar di Indonesia; Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara
dengan populasi mencapai 21,258,000 jiwa di tahun 2014 dan memiliki kelompok
etnik Dayak, Cina, Melayu, Kadazan-Dusun, Banjar dan Jawa. Sebuah mahakarya
keberagaman suku dan alam dalam satu pulau eksotis yang tidak bisa di tolak
untuk ambil bagian menyaksikan langsung pesona dari pulau Kalimantan ini. Kecintaan
kami akan pesona ini yang melatarbelakangi perjalanan ini dengan sangat
kuatnya.
Artikel ini di sengaja di
tulis sebagai jurnal perjalanan pribadi untuk mendokumentasikan setiap hal
menakjubkan yang dialami selama perjalanan, khususnya di Pulau Kalimantan.
perjalanan ini dilaksanakan atas kerjasama dengan Lembaga Pelayanan Mahasiswa
Indonesia, yang menaungi mahasiswa UI, ITB, IPB, Unpad, UPR dan Utama dengan
jumlah keseluruhan mahasiswa 48 orang yang memiliki misi yang sama dengan
pendamping dari staff lembaga yang kemudian dikelompokan kembali menjadi 8 Tim,
karena kami menjelajahi 8 Desa (Desa Tumbang Habangoi, Desa Luwuk Tukau, Desa
Tumbang Kalemei, Desa Tumbang Oroi, Desa Batu Badinding, Desa Rantau Asem, Desa
Tehang, dan Desa Tumbang Samui). Meskipun perjalanan ini melibatkan mahasiswa
dari berbagai Perguruan Tinggi, kami tidak membawa almamater. Hal ini untuk
mencegah bloking dan mempererat kesatuan kita sebagai satu tim dalam perjalanan
ini daripada menjadi mahasiswa dari suatu perguruan tinggi terterntu untuk misi
utama kita membangun pergerakan di Kalimantan.
Selain misi utama, tujuan
kami mendatangi Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, Kota Palangka
Raya, adalah untuk mempelajari kehidupan; termasuk budaya, kebiasaan,
kesehatan, dan keseharian masyarakat setempat. Tim kami berjumlah 7 orang
terdiri dari saya sendiri (Wanura N. Belbandeya), Novera, Aquila Carol
Adimurti, Chandra L. Silitonga, Merry E. Wattimena, Lisma Simanjuntak, dan Romel
Arthur Lumolos, yang mengekposisi Desa Tumbang Oroi.
Tentunya perjalanan ini
dapat terjadi karena adanya campur tangan dari Lembaga, dan masyarakat
setempat. Beberapa sosok yang sangat membantu, Vk. Nana yang memberikan kami
tempat tinggal sementara selama beberapa minggu kami tingga di Desa Tumbang
Oroi, Bapak Ramulen selaku kepala desa yang sangat ramah menyambut kami, Mama Ndut
yang memfasilitasi kami segala kebutuhan selama di Desa, Pak Gerisno selaku
kepala sekolah SDN Tumbang Oroi yang sangat mendukung aktifitas belajar
mengajar kami selama di Desa, Wendi yang beberapa kali menjadi penerjemah kami
kepada warga yang masih belum bisa berbahasa Indonesia, dan banyak pihak yang
sangat antusian membantu danmendukung kami selama berada di Desa Tumbang Oroi.
Perjalanan dilaksanakan
pada 16-23 Januari 2017 serentak di 8 Desa, yang kemudian di Follow-Up pada
bulan Juli 2017 di 8 desa yang sama untuk memastikan bahwa setiap pengajaran
yang dilaksanakan bermanfaat dan diterapkan warga dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Senang untuk bisa bermanfaat dan membangun gerakan untuk membawa lebih
banyak lagi masyarakat yang sadar pentingnya hidup kita ini.
Depok, Februari 2017
Wanura N. Belbandeya
PROLOG
Tidak terjamah
modernisasi, adalah kesan yang akan di rasakan beberapa saat ketika kita sampai
di Desa Tumbang Oroi. Kesan pertama, tentu adalah alamnya. Dimana kanan kiri
jalan adalah hutan lebat yang tumbuh liar tanpa jamahan manusia; ditambah
kondisi jalanan yang masih berupa tanah merah degan sedikit bebatuan.
Bayangkan, apa yang terjadi jika hujan deras mengguyur jalanan yang menjadi
satu-satunya akses penghubung antar desa disana. Jalan tersebut akan otomatis
becek dan dipenuhi lumpur. Mobil yang biasa kita tumpangi di daerah perkotaan
mungkin tidak akan lolos dalam perjalanan ini karena kondisi jalan yang
ekstrim. Itu sebabnya mobil yang biasa melintasi jalan ini pun sudah
termodifikasi menyesuaikan dengan medan jalan seperti ini. Tentunya, para
drivernya-pun adalah orang yang sudah terbiasa dengan medan seperti ini.
Terbatas sekali komunikasi
melalui seluler, televisi, dan radio, apalagi koran. Dengan keadaan seperti
ini, apa yang anda fikirkan tentang kehidupan-keseharian mereka? Dari mana
warga mendapatkan informasi tentang dunia? Apa minat mereka? dan tujuan hidup
yang menjadi ambisi para ‘warga kota’, apakah mereka mengalaminya juga?
Apa yang kalian pikirkan
mengenai hal-hal tersebut? Menarik bukan?
Desa Tumbang Oroi, akan
menjadi Kebudayaan yang tertutupi modernisasi jika hal ini terus dibiarkan
demikian. Positif; jika memang dengan berbudaya demikian mereka memiliki hidup
yang sejahtera dan damai, tapi apakah kita memang hanya hidup untuk itu? tanpa
tujuan? hanya hidup lalu mati, dan selesai? Atau bereinkarnasi? atau menikmati
kekekalan di alam lain? atau masih bergentayangan menjaga keluarga kerabst
terkasih yang masih hidup dan menjadi malaikat penyelamat?
Jika ya, lalu, apa makna
hidup itu?
Tidak hanya Desa Tumbang
Oroi, 8 desa dengan budaya yang sama dengan agama asli Kaharingan, memiliki
kebudayaan dan kehidupan yang sama. Dengan keterbatasan informasi ‘dunia luar’
yang katanya sudah maju. Mengetahui ini, apa yang kita lakukan, sebagai warga
yang ‘sudah lebih maju’? menjadikan ini sebagai pengetahuan saja, bahwa “ada loh di Indonesia masyarakat yang masih
terisolasi dari komunikasi dan informasi” atau membiarkan itu terjadi
secara alami karena itu tidak berdampak signifikan bagi kehidupan kita sebagai
warha yang lebihmaju? atau mengambil tindakan movement?!
DESA TUMBANG OROI
ADMINISTRASI DESA
Desa
Tumbang Oroi masuk dalam daerah administrasi Kabupaten Gunung Mas, yang
memiliki luas wilayah 10804km2 yang memiliki semboyan kabupaten “Habangkalan Penyang Karuhei Tatau”
berarti: Kumpulan, himpunan cita-cita yang menyatu atas dasar tekad dengan
semangat yang tinggi dengan didasari agama dan keimanan dalam upaya bersama untuk
membangun yang bertujuan mensejahterakan, membahagiakan dan kejayaan seluruh
masyarakat di wilayah Kabupaten Gunung Mas. Lengkapnya, Desa Tumbang Oroi masuk
dalam Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Palangka Raya, Kalimantan
Tengah dengan kode POS 74562. Desa Tumbang Oroi dipimpin oleh seorang kepala
desa, Bapak Ramulen yang merupakan penduduk asli Desa Tumbang Oroi.
Dari
kepemimpinannya, Pak Ramulen adalah sosok kepala desa yang memiliki wibawa
memimpin. Terlihat dari warganya yang sangat mengandalkan beliau dalam setiap
aspek keseharian, seperti permasalahan desa yang dapat diselesaikan dengan
musyawarah yang dipimpin beliau dan setiap warga patuh dengan apa yang
diucapkan beliau. Tidak hanya itu, pak Ramulen juga sudah menjabat di periode
ke 2 masa jabatannya sebagai kepala desa, semakin meyakinkan posisi kepentingan
beliau dalam tata administrasi desa.
Kabupaten Gunung Mas |
Desa
Tumbang Oroi memiliki kantor Dewan Perwakilan Daerah, Kantor Kelurahan,
Puskesmas, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Pastorial, Gereja GKI dan Gereja
GPdI. Untuk kegiatan besar yang melibatkan seluruh Desa, warga biasa
menggunakan bangunan Sekolah Dasar dan bangunan Gereja GKI atau rumah kepala
desa sebagai tempat berkumpul dan pusat keramaian.
KONDISI PENDUDUK
KELUARGA, PENDIDIKAN, MATA PENCAHARIAN
Lebih
dari 100 kepala keluarga terdaftar di Desa Tumbang Oroi. Dengan berbagai suku
dan agama. Suku utama di Desa ini adalah Suku Dayak Ngaju dengan beberapa
pendatang dari Banjar, dan Jawa. Dengan agama asli Kaharingan dan beberapa
agama yang dibawa pendatang seperti kristen dan Islam. Pernikahan dini banyak
terjadi disini. Karena pendidikan yang rata-rata lulus dari sekolah dasar dan
tidak meneruskan ke jenjang sekolah menengah, banyak anak muda yang kemudian
lebih memilih untuk meneruskan bekerja di ladang atau pertambangan emas yang
diurus keluarga sejak lama. Beberapa anak perempuan kemudian menikah karena
dianggap sudah dewasa dan cukup usia dalam perkawinan. Tidak heran jika
kebanyakan pemuda dan pengurus organisasi pemuda dalam struktur desa di
dominasi oleh lelaki.
Bukan
tanpa alasan, banyak warga yang kemudian tidak melanjutkan sekolahnya adalah
karena tidak tersedianya fasilitas pendidikan dalam jenjang sekolah menengah.
Sehingga setiap anak yang mau melanjutkan sekolahnya ke jenjang sekolah
menengah harus meneruskan di luar desa yang berarti harus menempuh jarak yang
jauh dengan akses yang minim.
Satu-satunya
sekolah dasar yang menjadi kebanggaan masyarakat Desa Tumbang Oroi, adalah SDN
Tumbang Oroi yang sekaliugus menjadi
jenjang pendidikan tertinggi di desa ini. memiliki 11 orang guru dengan jenjang
pendidikan sarjana. Guru tersebut mewakili 1 orang kepala sekolah, 6 orang wali
kelas, 1 orang guru olah raga, 1 orang guru agama dan 2 orang guru lainya;
dengan jumlah siswa kurang lebih 90 siwa dari kelas 1 sampai kelas 6.
Kurikulum
yang diajarkan sesuai dengan yang berlaku di Indonesia, dan mereka –pun akan
melaksanakan Ujian Nasional serentak yang anak dilaksanakan beberapa bulan
mendatang. Meskipun dengan kondisi dan akses yang kurang mendukung untuk
perjalanan yang dilakukan sering, kunjungan dari dinas pendidikan ada dan
bantuan dari luar pun terlihat ada dan terjadi disini seperti dapat dilihat
dari seragam dan atribut sekolah, bantuan berupa tas, sepatu, dan alat tulis
terlihat pernah dilaksanakan. sayangnya, masyarakat yang kebanyakan masih belum
terbiasa menggunakan sepatu masih enggan menggunakan sepatu ke sekolah,
meskipun demikian, tidak mengurangi antusias anak-anak untuk menuntut ilmu
kesekolah. Tapi, sedikit menggelitik ketika melihat antusias dan ambisi untuk
belajar itu menjadi sedikit surut dengan adanya hujan. Bukan waham, atau memang
ini lah yang terjadi, waktu untuk proses belajar mengajar sagat fleksibel.
Seperti waktu istirahat dan waktu masuk sekolah yang dapat mengikuti sesuai
dengan kondisi cuaca setempat. Dapat dimaklumi, ketika hujan, jalanan menjadi
sangat becek dan licin.
Anak-anak
Desa Tumbang Oroi ini termasuk pintar, mereka mudah memahami pelajaran yang
diajarkan. Seperti logika matematika, bahasa asing (Bahasa Inggris), dan ilmu
pengetahuan alam mudah mereka serap. Menarik sekali ketika diluar sekolah dan
dalam waktu bermain mereka, terselip pelajaran-pelajaran sekolah yang dibawa
dalam bermain. Terenyuh ketika melihat antusias anak anak dan melihat potensi
mereka yang sayang sekali untuk dikubur bersama dalamnya hutan Kalimantan.
Banyaknya
lahan yang mendukung untuk menanam dan menuai getah karet, membuat kebanyakan
warganya memiliki mata pencaharian sebagai petani karet. Pagi-pagi sekali
dengan perbekalan untuk makan siang, para petani karet sudah berangkat menuju
ladangnya masing masing. Sudah menunggu di ladang mereka, getah karet yang siap
di tuai dan saung sederhana yang siap untuk menjadi tempat berteduh diwaktu
istirahat. Karet yang sudah di panen akan di kumpulkan dan dijual kepada
pengepul untuk kemudian diolah. Demikian juga dengan para penambang emas.
Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Gunung Mas, memang memendam logam mulian
ini, dan seperti hal nya dengan para petani karet, para penambang emas pun
kemudian mengumpulkan biji emasnya kepada pengepul yang kemudian di jual lagi
untuk di olah. Tidak hanya sebagai petani karet dan penambang emas, beberapa
warga juga memiliki usaha sarang burung walet. Seperti yang dilakukan pak
Gerisno, diakuinya beru memulai usaha ini beberapa tahun yang lalu. Usaha
burung walet yang terlihat sederhana ini ternyata tidak sesederhana itu. modah
usahanya mencapai Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah). Bukan angka yang
sedikit untuk modal usaha. Meskipun demikian, banyak juga warga lainnya yang
memiliki usaha ini sebagai mata pencaharian mereka.
BUDAYA SETEMPAT
Budaya,
banyak mengisahkan hal-hal unik yang tidak terfikirkan tapi selalu berhasil
membuat takjub. Tidak berhenti dan tidak ada habisnya untuk membicarakan
kebudayaan terutama kebudayaan yang ada di Desa Tumbang Oroi. Pada umumnya,
kebudayaan di Desa Tumbang Oroi dipengaruhi dengan kebudayaan Dayak Ngaju
seperti pada daerah Kalimantan lainnya. Kebudayaan yang dilandaskan pada
keyakinan leluhur masyarakat Kalimantan tengah yang kemudian menjadi
kepercayaan masyarakat dan masih bertahan sampai sekarang. Budaya ini menjadi
dasar agama dan ritual-ritual adat yang masih dilaksanakan dan bahkan sengaja
dilestarikan oleh pemerintah Kalimantan sebagai budaya warisan leluhur yang
menjadi salah satu keistimewaan Kalimantan. hal-hal tersebut kita bahas lebih
lagi dalam sub-bab berikut.
AGAMA
Agama
asli yang dianut oleh Suku Dayak Ngaju adalah Kaharingan. Seperti telah
dideskripsikan sebelumnya, agama ini dipengaruhi budaya leluhur, dimana kata Kaharingan
pada awalnya dipakai pada upacara ritual Dayak Ngaju. Dalam bahasa sangiang
(bahasa ritual), kata Kaharingan berarti hidup atau kehidupan. Tahun 1945 Kaharingan
diajukan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Banjarmasin sebagai penyebutan
agama Dayak. Tahun 1950 dalam kongres Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia, Kaharingan
resmi dipakai sebagai generik agama dayak. Tahun 1980 para penganutnya
berintegrasi dengan Hindu karena Indonesia mengakui 5 Agama (Islam, Keristen,
Katolik, Hindu, dan Budha), sehingga menjadi Hindu Kaharingan. Kitab sucinya
disebut dengan Panaturan, dan terdapat buku agama yang disebut dengan Talatah
Basarah (kumpulan doa) dan Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan tuhan
dengan menabur beras). Sejak tahun 1980 Kaharingan dimasukkan sebagai penganut
Hindu. BPPS Kalimantan Tengah pada tahun 2007 mencatat ada 223.349 penganut Kaharingan.
Kaharingan itu sendiri sangat erat kaitannya dengan Suku Dayak Ngaju, dan bahkan
dikatakan sebagai agama asli suku ini. (Tety Rachmawati, dkk 2016)
Tidak
hanya Kaharingan, tetapi juga agama Samawi seperti Kristen, Katolik, dan Islam
juga menjadi agama yang banyak dianut masyarakat. Di Desa Tumbang Oroi ini
sendiri mayoritas masyarakatnya adalah penganut Keristen, Islam dan Hindu Kaharingan.
BARAM
Baram
sendiri adalah minuman khas suku Dayak Ngaju yang pembuatannya dan waktu
meminumnya dilaksanakan untuk ritual tertentu. Baram menjadi sangat sakral
karena melambangkan kehidupan. Minuman ini terbuat dari fermentasi beras dengan rempah-rempah resep
leluhur yang masih di jaga sampai sekarang. Para pembuat baram adalah para mama
yang secara khusus membuatnya pada setiap diadakannya ritual keagamaan.
Uniknya,
baram ini memabukan, masyarakat pun tahu, dampak meminum baram ini seperti apa.
Tidak jarang juga terjadi hal-hal yang diluar kendali akibat seseorang terlalu
banyak meminum baram. Kami, yang berlatar belakang mahasiswa memberikan edukasi
kepada mereka yang mengkonsumsi setiap apa yang memabukan adalah tidak baik.
Sedikit terkejut bahwa ternyata masyarakat pun memahami benar bahwa baram yang
diminum berlebihan tidak baik dan beberapa warga yang sudah sadar terhadap
kesehatan bahkan melarang anak dibawah umur dan wanita hamil untuk mengkonsumsi
baram, dan membatasi konsumsi baram pada ritual keagamaan (tidak dikonsumsi
berlebihan). Meskipun begitu, banyak juga warga yang masih ingin menikmati
baram secara bebas.
Baram
menjadi unik sekali, karena minuman ini sekaligus menjadi pemersatu masyarakat
dalam setiap ritual keagamaan, namun, disaat yang sama, baram juga menjadi
momok yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat sendiri.
TIWAH
Sebagai
bentuk penghormatan kepada orang yang sudah meninggal, yang bagi umat Kaharingan
hal itu berarti memuliakan orangtua serta leluhur mereka dilaksanakan lah dalam
sebuah ritual, manifestasi penghormatan itu terwujud dalam ritual Tiwah dan
Napesan. Secara
garis besar napesan adalah upacara Tiwah yang dilakukan secara langsung. Orang
yang sudah meninggal dunia langsung diTiwahkan dan dimasukkan ke dalam sandung,
yaitu tempat berbentuk kotak yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang
orang yang sudah meninggal.
sandung |
sandung |
Biasanya
orang yang melakukan Tiwah napesan adalah orang yang sudah siap secara
finansial karena upacara ini memang menghabiskan biaya yang relatif besar,
terutama untuk keperluan mempersiapkan hewan kurban seperti babi. Tetapi
pelaksanaan Tiwah napesan ini sesungguhnya juga untuk menyiasati pengeluaran
yang justru jauh lebih besar jika melaksanakan Tiwah yang biasa (Tiwah besar).
Sedangkan arti dari Tiwah itu sendiri, yaitu ritual kematian tingkat akhir bagi
Suku Dayak Ngaju. Ritual Tiwah bertujuan untuk menghantarkan roh orang yang
sudah meninggal ke alam baka atau lewu tatau, dengan cara menyucikan dan
memindahkan sisa jasad berupa tulang belulang ke dalam sandung, yang biasanya
upacara Tiwah ini dilaksanakan dalam beberapa hari. (Tety Rachmawati, dkk 2016)
PERJALANAN KAMI
PERJALANAN
Suatu
pengalaman yang luar biasa dapat ikut dalam kegiatan Stop-Out Palangka Raya
yang digalakan oleh LPMI ini. bukan kesempatan yang bisa terulang berkali-kali.
Stop-Out itu sendiri adalah Misi ke Borneo yang dilakukan oleh para mahasiswa
dengan memanfaatkan waktu libur antar-semester untuk membina masyarakat, serta
menyatakan kepedulian sosial. Setiap mahasiswa yang telah menangkap Visi
Movement Everywhere, berhenti sejenak (STOP) dari seluruh Kesibukan di kampus
dan bergerak ke luar (OUT) untuk berkarya secara langsung dalam masyarakat.
Kesempatan
ini tidak kami sia-siakan. Kami giat menggalang dana untuk keberangkatan. Meski
dana yang kami kumpulkan bukan untuk membiayai perjalanan kami 100%, karena
kami juga menerima subsidi dari LPMI. Dengan penuh hikmat, kami berangkat pada
senin, 16 Januari 2017 dengan meeting point di bandara Soekarno Hatta. Hati
yang bersuka cita dapat berkenalan dengan orang orang sebaya yang memiliki visi
yang sama dari berbagai universitas di berbagai daerah dan berkumpul dalam
kegiatan ini.
Sedikit
ricuh ketika 50an orang dalam satu kali perjalanan dan satu penerbangan yang
sama. Lucu, karena kami pun merasa seperti anak taman kanak-kanak yang
bersemangat untuk pergi bertamasya.
Saya
sendiri, sebelum perjalanan sudah mulai banyak mencari informasi mengenai
Kalimantan, suku disana, budaya mereka, kondisi alam, sampai hewan dan
kebiasaan unik mereka. Bayangan pertama yang muncul adalah bahwa suku di
Kalimantan Tengah (yang akan kami datangi) seperti hal nya masyarakat Baduy
dalam. Terbayang hutannya yang lebat dan suku-suku pedalaman yang seperti suku
baduy (dalam pemikiran saya saat itu), terlebih dengan informasi yang di dapat
bahwa akses menuju tempat tujuan adalah dengan off road dan melintasi sungai
dengan hewan buas yang masih berkeliaran bebas. Semakin banyak informasi
mengenai kalimantan yang saya dapatkan, semakin bersemangat untuk segera
menyelami. Saya, secara pribadi sudah mempersiapkan diri, fisik maupun mental
untuk setiap kemungkinan yang terjadi.
Sedikit
sharing, salah satu informasi yang saya dapatkan bahwa Kalimantan Tengah
termasuk daerah endemik malaria. Takut akan terkena malaria, saya dan beberapa
teman memeriksakan konsidi fisik ke klinik dan dokter setempat. Saya sendiri
memeriksakan diri pada 3 praktisi kesehatan 1. Klinik Satelit Makara UI (karena
saya mahasiswa UI, maka saya mendapatkan akses pemeriksaan), 2. Kimia Farma
Bandung (karena saat itu saya berada di Bandung), dan 3. Ayah saya sendiri
(karena beliau juga termasuk seorang praktisi kesehatan). Sedikit dibingungkan
karena ternyata 3 jawaban berbeda dari 3 sumber yang saya datangi. Sumber
pertama, klinik makara, mengatakan bahwa untuk mencegah dapat dilakukan dengan
mengkonsumsi obat kina 1 kali sehari selama 2 minggu sebelum keberangkatan.
Sumber ke 2, kimia farma bandung, menyarankan untuk mengkonsumsinya 3 kali
sehari seminggu sebelum keberangkatan, seminggu selama berada di tempat, dan
seminggu setelah pulang kembali. Terakhir, sumber ke 3, ayah saya, beliau
mengatakan “olahraga, pastikan kamu fit.
Tidak perlu mengkonsumsi obat” merasa sangat simpang siur, saya berusaha
mencari via internet. Jawaban yang sama saya dapatkan. Karena pusing, akhirnya
saya mencoba mengkonsumsi 1 obat kina 1 hari, tapi, berjalan 3 hari, badan yang
fit merasa kurang enak, maka saya menghentikan konsumsi sampai di hari H
pemberangkatan saya masih dalam kondisi pemulihan akibat konsumsi obat kina
tersebut. Sementara teman saya yang rutin mengkonsumsi sesuai anjuran (1 kali 1
hari) masih sakit dan baru menghentikan konsumsi obat. Dari sini aku belajar
bahwa benar apa yang dikatakan ayah, bahwa tidak perlu pencegahan dengan
konsumsi obat, tapi pastikan untuk tidak terkena gigitan nyamuk, dan pastikan
kamu dalam kondisi fit. BANG!
MENUJU PALANGKA RAYA
Semua tentang suku baduy dalam yang sempat saya bayangkan hancur seketika ketika meninjakan kaki di bandara Tjilik Riwuk. Sama hal nya dengan kondisi bandara di kota-kota lainnya, bagitu pula yang terjadi di kalimantan Tengah ini. ada Mall dan angkutan umum, meski jarang.
Kami
menginap di Wisma yang baru diresmikan dan kami adalah penghuni pertama dari
wisma ini. terlaihat semua furniture masih baru dan menyenangkan sekali.
Sambutan kami di Wisma, dan
kendaraan menuju Desa Tumbang Oroi
MENUJU DESA TUMBANG OROI
Tim
kami berjumlah 7 orang terdiri dari saya sendiri (Wanura N. Belbandeya),
Novera, Aquila Carol Adimurti, Chandra L. Silitonga, Merry E. Wattimena, Lisma
Simanjuntak, dan Romel Arthur Lumolos, yang mengekposisi Desa Tumbang Oroi.
Tim Desa Tumbang Oroi |
Setelah
pembagian kelompok, kamibergegas packing untuk melanjutkan perjalanan ke Desa
Tumbang Oroi. Perjalanan yang sangat menyenangkan, berliku dan curam. Karena
badan kurang fit akibat masih dalam masa pemulihan, sempat merasakan mual.
Danau Biru |
Hal
yang indah ketika kami mampir ke danau biru. Pemandangan yang indah sekaligus
memprihatinkan, karena ternyata, danau ini adalah hasil penggalian tambang yang
tidak di uruk dan diperbaikikembali ekosistemnya, meskipun demikian, danau ini
terlihat indah.
MEMBAUR DENGAN MASYARAKAT
Sampai di Desa Tumbang Oroi, desa dengan jumlah kurang lebih 100 kepala keluarga ini tidak terlalu luas memang, kita bisa mengelilinginya dengan berjalan kaki dalam satu hari. Belum ada patok perbatasan desa yang jelas di Tumbang Oroi ini. akses menuju Desa Tumbang Oroi sekitar 5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil dari Kota Palangka Raya. Tidak ada kendaraan umum yang menghubungkan kota Palangka Raya dengan Desa Tumbang Oroi. Satu-satunya cara adalah dengan menyewa Taxi. Eits, bukan taxi seperti yang kita temui di kota kota besar. Taxi disini, umumnya adalah kendaraan pribadi yang memang disewakan khusus untuk mengantar wisatawan ke daerah daerah tujuan wisata. Tapi jangan salah, Desa Tumbang Oroi bukanlah Desa Wisata, karena kebanyakan tempat wisata ada di Kota Palangka Raya. Supir taxi nya pun bukan orang sembarangan. Melainkan penduduk sekitar yang memang sudah terbiasa dengan medan tanah merah yang curam yang rawan selip.Hari ke-2 kami di Desa Tumbang Oroi.
Siswa/i SDN Tumbang Oroi |
Hari
ke-3
Kunjungan
ke sekolah SDN Tumbang Oroi, senam bersama,
PI, dan mengajar (kelas 3,4,5, dan 6)
mata ajar Matematika, IPA, berdiskusi dengan guru-guru, Visit/kunjungan
ke rumah warga dan Nonton Bareng Film dalam Bahasa Dayak Ngajuk.
Hari
ke-4
Mengajar
di SDN Tumbang Oroi, Ibadah seluruh siswa/i di SDN Tumbang Oroi, Visit ke rumah
warga.
Hari
ke-5
Senam
bersama, Latihan PBB & Upacara
Bendera untuk siswa/i SDN Tumbang Oroi, Penyuluhan narkoba di SDN Tumbang Oroi,
Penyerahan Cinderamata untuk Desa Tumbang Oroi, Visit, Training MC, Penyuluhan
Pernikahan dini dan belajar bahasa Inggris bagi anak-anak di Tumbang Oroi, Open
House, penyerahan Cinderamata untuk Pastori dan Gereja, Perpisahan.
Hari
ke-6
Pelepasan
dan kembali Ke Palangka Raya.
Setiap
harinya kami pakai untuk benar-benar berbaur dan merasakan bagaimana menjadi
masyarakat di sana. Mencari makanan, mengolahnya sampai pesta bersama mereka
dan konsultasi pada setiap visitasi ke rumah-rumah penduduk membuat kami
semakin terenyuh, betapa kita sangat beruntung atau sangat sial menjadi warga
yang sangat terbuka akan akses informasi.
Desa
ini tidak sendiri. Banyak desa lain yang mengubur segala potensinya untuk
ditinggal tidur.
YANG KAMI PELAJARI
Tidak
hanya Desa Tumbang Oroi, 8 desa dengan budaya yang sama dengan agama asli Kaharingan,
memiliki kebudayaan dan kehidupan yang sama. Dengan keterbatasan informasi
‘dunia luar’ yang katanya sudah maju. Mengetahui ini, apa yang kita lakukan,
sebagai warga yang ‘sudah lebih maju’? menjadikan ini sebagai pengetahuan saja,
bahwa “ada loh di Indonesia masyarakat
yang masih terisolasi dari komunikasi dan informasi” atau membiarkan itu
terjadi secara alami karena itu tidak berdampak signifikan bagi kehidupan kita
sebagai warga yang lebih maju? atau mengambil tindakan movement?!
Itu
pilihanmu. Pergerakan dan tindakan yang kita pilih-pun berdasarkan hasil
pemikiran kita dengan mempertimbangkan beneficient
factor bagi banyak pihak; bagi pemberi intervensi, bagi yang diintervensi
dan bagi sponsor pendukung. Renungkan, banyak potensi sumberdaya manusia
yangluar biasa yang masih terhalang oleh Kilau emas dan terkubur bersama
lebatnya hutan Kalimantan.
Duduk,
mempelajari banyak hal mengenai stastus sosial dan ilmu lainnya, akan semakin
menambah wawasan pengetahuan dan mengubah persfektif serta langkah intervensi
dari hasil pemikiran. Tapi tidak semua orang dengan perbendaharaan ilmu
pengetahuan dan wawasan mau untuk mengambil langkah inisiatif yang memberikan
perubahan. Sebagian, melakukannya untuk menguatkan diri dalam berdebat, dan
menjadi orang ‘pintar’.
Jadi,
masih hanya akan duduk dan menambah lebih banyak lagi pengetahuan dan
perbendaharaan ilmu?
Comments
Post a Comment