Movement! Palangka Raya, Kalimantan Tengah

PDF version:
https://drive.google.com/file/d/0B-mHVGP-Fw5QOGhuMzd3b2o1ZVU/view?usp=sharing 

Indonesia itu unik. Terdiri dari banyak pulau dengan beragam suku dan kebudayaan. Bukan rahasia jika banyak orang yang tertarik dengan Indonesia karena keindahan alamnya, keramahan penduduknya, kuliner khas, ragam budaya yang unik, dan persatuan dalam beragama. Dari sekian banyak pulau di Indonesia, Kalimantan termasuk pulau besar yang masih jarang di jamah wisatawan domestik maupun internasional; kecuali mereka yang datang dengan tujuan riset atau bisnis.
Pulau dengan luas 743,330 km2 ini, berkontribusi untuk 5 provinsi besar di Indonesia; Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara dengan populasi mencapai 21,258,000 jiwa di tahun 2014 dan memiliki kelompok etnik Dayak, Cina, Melayu, Kadazan-Dusun, Banjar dan Jawa. Sebuah mahakarya keberagaman suku dan alam dalam satu pulau eksotis yang tidak bisa di tolak untuk ambil bagian menyaksikan langsung pesona dari pulau Kalimantan ini. Kecintaan kami akan pesona ini yang melatarbelakangi perjalanan ini dengan sangat kuatnya.
Artikel ini di sengaja di tulis sebagai jurnal perjalanan pribadi untuk mendokumentasikan setiap hal menakjubkan yang dialami selama perjalanan, khususnya di Pulau Kalimantan. perjalanan ini dilaksanakan atas kerjasama dengan Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia, yang menaungi mahasiswa UI, ITB, IPB, Unpad, UPR dan Utama dengan jumlah keseluruhan mahasiswa 48 orang yang memiliki misi yang sama dengan pendamping dari staff lembaga yang kemudian dikelompokan kembali menjadi 8 Tim, karena kami menjelajahi 8 Desa (Desa Tumbang Habangoi, Desa Luwuk Tukau, Desa Tumbang Kalemei, Desa Tumbang Oroi, Desa Batu Badinding, Desa Rantau Asem, Desa Tehang, dan Desa Tumbang Samui). Meskipun perjalanan ini melibatkan mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi, kami tidak membawa almamater. Hal ini untuk mencegah bloking dan mempererat kesatuan kita sebagai satu tim dalam perjalanan ini daripada menjadi mahasiswa dari suatu perguruan tinggi terterntu untuk misi utama kita membangun pergerakan di Kalimantan.
Selain misi utama, tujuan kami mendatangi Pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, Kota Palangka Raya, adalah untuk mempelajari kehidupan; termasuk budaya, kebiasaan, kesehatan, dan keseharian masyarakat setempat. Tim kami berjumlah 7 orang terdiri dari saya sendiri (Wanura N. Belbandeya), Novera, Aquila Carol Adimurti, Chandra L. Silitonga, Merry E. Wattimena, Lisma Simanjuntak, dan Romel Arthur Lumolos, yang mengekposisi Desa Tumbang Oroi.
Tentunya perjalanan ini dapat terjadi karena adanya campur tangan dari Lembaga, dan masyarakat setempat. Beberapa sosok yang sangat membantu, Vk. Nana yang memberikan kami tempat tinggal sementara selama beberapa minggu kami tingga di Desa Tumbang Oroi, Bapak Ramulen selaku kepala desa yang sangat ramah menyambut kami, Mama Ndut yang memfasilitasi kami segala kebutuhan selama di Desa, Pak Gerisno selaku kepala sekolah SDN Tumbang Oroi yang sangat mendukung aktifitas belajar mengajar kami selama di Desa, Wendi yang beberapa kali menjadi penerjemah kami kepada warga yang masih belum bisa berbahasa Indonesia, dan banyak pihak yang sangat antusian membantu danmendukung kami selama berada di Desa Tumbang Oroi.
Perjalanan dilaksanakan pada 16-23 Januari 2017 serentak di 8 Desa, yang kemudian di Follow-Up pada bulan Juli 2017 di 8 desa yang sama untuk memastikan bahwa setiap pengajaran yang dilaksanakan bermanfaat dan diterapkan warga dalam kehidupan sehari-hari mereka. Senang untuk bisa bermanfaat dan membangun gerakan untuk membawa lebih banyak lagi masyarakat yang sadar pentingnya hidup kita ini.


Depok, Februari 2017
Wanura N. Belbandeya



PROLOG

Tidak terjamah modernisasi, adalah kesan yang akan di rasakan beberapa saat ketika kita sampai di Desa Tumbang Oroi. Kesan pertama, tentu adalah alamnya. Dimana kanan kiri jalan adalah hutan lebat yang tumbuh liar tanpa jamahan manusia; ditambah kondisi jalanan yang masih berupa tanah merah degan sedikit bebatuan. Bayangkan, apa yang terjadi jika hujan deras mengguyur jalanan yang menjadi satu-satunya akses penghubung antar desa disana. Jalan tersebut akan otomatis becek dan dipenuhi lumpur. Mobil yang biasa kita tumpangi di daerah perkotaan mungkin tidak akan lolos dalam perjalanan ini karena kondisi jalan yang ekstrim. Itu sebabnya mobil yang biasa melintasi jalan ini pun sudah termodifikasi menyesuaikan dengan medan jalan seperti ini. Tentunya, para drivernya-pun adalah orang yang sudah terbiasa dengan medan seperti ini.

Terbatas sekali komunikasi melalui seluler, televisi, dan radio, apalagi koran. Dengan keadaan seperti ini, apa yang anda fikirkan tentang kehidupan-keseharian mereka? Dari mana warga mendapatkan informasi tentang dunia? Apa minat mereka? dan tujuan hidup yang menjadi ambisi para ‘warga kota’, apakah mereka mengalaminya juga?

Apa yang kalian pikirkan mengenai hal-hal tersebut? Menarik bukan?

Desa Tumbang Oroi, akan menjadi Kebudayaan yang tertutupi modernisasi jika hal ini terus dibiarkan demikian. Positif; jika memang dengan berbudaya demikian mereka memiliki hidup yang sejahtera dan damai, tapi apakah kita memang hanya hidup untuk itu? tanpa tujuan? hanya hidup lalu mati, dan selesai? Atau bereinkarnasi? atau menikmati kekekalan di alam lain? atau masih bergentayangan menjaga keluarga kerabst terkasih yang masih hidup dan menjadi malaikat penyelamat?

Jika ya, lalu, apa makna hidup itu?

Tidak hanya Desa Tumbang Oroi, 8 desa dengan budaya yang sama dengan agama asli Kaharingan, memiliki kebudayaan dan kehidupan yang sama. Dengan keterbatasan informasi ‘dunia luar’ yang katanya sudah maju. Mengetahui ini, apa yang kita lakukan, sebagai warga yang ‘sudah lebih maju’? menjadikan ini sebagai pengetahuan saja, bahwa “ada loh di Indonesia masyarakat yang masih terisolasi dari komunikasi dan informasi” atau membiarkan itu terjadi secara alami karena itu tidak berdampak signifikan bagi kehidupan kita sebagai warha yang lebihmaju? atau mengambil tindakan movement?!

DESA TUMBANG OROI

            ADMINISTRASI DESA

Desa Tumbang Oroi masuk dalam daerah administrasi Kabupaten Gunung Mas, yang memiliki luas wilayah 10804km2 yang memiliki semboyan kabupaten “Habangkalan Penyang Karuhei Tatau” berarti: Kumpulan, himpunan cita-cita yang menyatu atas dasar tekad dengan semangat yang tinggi dengan didasari agama dan keimanan dalam upaya bersama untuk membangun yang bertujuan mensejahterakan, membahagiakan dan kejayaan seluruh masyarakat di wilayah Kabupaten Gunung Mas. Lengkapnya, Desa Tumbang Oroi masuk dalam Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Palangka Raya, Kalimantan Tengah dengan kode POS 74562. Desa Tumbang Oroi dipimpin oleh seorang kepala desa, Bapak Ramulen yang merupakan penduduk asli Desa Tumbang Oroi. 

Dari kepemimpinannya, Pak Ramulen adalah sosok kepala desa yang memiliki wibawa memimpin. Terlihat dari warganya yang sangat mengandalkan beliau dalam setiap aspek keseharian, seperti permasalahan desa yang dapat diselesaikan dengan musyawarah yang dipimpin beliau dan setiap warga patuh dengan apa yang diucapkan beliau. Tidak hanya itu, pak Ramulen juga sudah menjabat di periode ke 2 masa jabatannya sebagai kepala desa, semakin meyakinkan posisi kepentingan beliau dalam tata administrasi desa.

Kabupaten Gunung Mas
 Desa Tumbang Oroi memiliki kantor Dewan Perwakilan Daerah, Kantor Kelurahan, Puskesmas, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Pastorial, Gereja GKI dan Gereja GPdI. Untuk kegiatan besar yang melibatkan seluruh Desa, warga biasa menggunakan bangunan Sekolah Dasar dan bangunan Gereja GKI atau rumah kepala desa sebagai tempat berkumpul dan pusat keramaian.



KONDISI PENDUDUK

                        KELUARGA, PENDIDIKAN, MATA PENCAHARIAN

Lebih dari 100 kepala keluarga terdaftar di Desa Tumbang Oroi. Dengan berbagai suku dan agama. Suku utama di Desa ini adalah Suku Dayak Ngaju dengan beberapa pendatang dari Banjar, dan Jawa. Dengan agama asli Kaharingan dan beberapa agama yang dibawa pendatang seperti kristen dan Islam. Pernikahan dini banyak terjadi disini. Karena pendidikan yang rata-rata lulus dari sekolah dasar dan tidak meneruskan ke jenjang sekolah menengah, banyak anak muda yang kemudian lebih memilih untuk meneruskan bekerja di ladang atau pertambangan emas yang diurus keluarga sejak lama. Beberapa anak perempuan kemudian menikah karena dianggap sudah dewasa dan cukup usia dalam perkawinan. Tidak heran jika kebanyakan pemuda dan pengurus organisasi pemuda dalam struktur desa di dominasi oleh lelaki. 



Bukan tanpa alasan, banyak warga yang kemudian tidak melanjutkan sekolahnya adalah karena tidak tersedianya fasilitas pendidikan dalam jenjang sekolah menengah. Sehingga setiap anak yang mau melanjutkan sekolahnya ke jenjang sekolah menengah harus meneruskan di luar desa yang berarti harus menempuh jarak yang jauh dengan akses yang minim. 

Satu-satunya sekolah dasar yang menjadi kebanggaan masyarakat Desa Tumbang Oroi, adalah SDN Tumbang Oroi yang sekaliugus  menjadi jenjang pendidikan tertinggi di desa ini. memiliki 11 orang guru dengan jenjang pendidikan sarjana. Guru tersebut mewakili 1 orang kepala sekolah, 6 orang wali kelas, 1 orang guru olah raga, 1 orang guru agama dan 2 orang guru lainya; dengan jumlah siswa kurang lebih 90 siwa dari kelas 1 sampai kelas 6.


 Kurikulum yang diajarkan sesuai dengan yang berlaku di Indonesia, dan mereka –pun akan melaksanakan Ujian Nasional serentak yang anak dilaksanakan beberapa bulan mendatang. Meskipun dengan kondisi dan akses yang kurang mendukung untuk perjalanan yang dilakukan sering, kunjungan dari dinas pendidikan ada dan bantuan dari luar pun terlihat ada dan terjadi disini seperti dapat dilihat dari seragam dan atribut sekolah, bantuan berupa tas, sepatu, dan alat tulis terlihat pernah dilaksanakan. sayangnya, masyarakat yang kebanyakan masih belum terbiasa menggunakan sepatu masih enggan menggunakan sepatu ke sekolah, meskipun demikian, tidak mengurangi antusias anak-anak untuk menuntut ilmu kesekolah. Tapi, sedikit menggelitik ketika melihat antusias dan ambisi untuk belajar itu menjadi sedikit surut dengan adanya hujan. Bukan waham, atau memang ini lah yang terjadi, waktu untuk proses belajar mengajar sagat fleksibel. Seperti waktu istirahat dan waktu masuk sekolah yang dapat mengikuti sesuai dengan kondisi cuaca setempat. Dapat dimaklumi, ketika hujan, jalanan menjadi sangat becek dan licin. 
 
Anak-anak Desa Tumbang Oroi ini termasuk pintar, mereka mudah memahami pelajaran yang diajarkan. Seperti logika matematika, bahasa asing (Bahasa Inggris), dan ilmu pengetahuan alam mudah mereka serap. Menarik sekali ketika diluar sekolah dan dalam waktu bermain mereka, terselip pelajaran-pelajaran sekolah yang dibawa dalam bermain. Terenyuh ketika melihat antusias anak anak dan melihat potensi mereka yang sayang sekali untuk dikubur bersama dalamnya hutan Kalimantan.

Banyaknya lahan yang mendukung untuk menanam dan menuai getah karet, membuat kebanyakan warganya memiliki mata pencaharian sebagai petani karet. Pagi-pagi sekali dengan perbekalan untuk makan siang, para petani karet sudah berangkat menuju ladangnya masing masing. Sudah menunggu di ladang mereka, getah karet yang siap di tuai dan saung sederhana yang siap untuk menjadi tempat berteduh diwaktu istirahat. Karet yang sudah di panen akan di kumpulkan dan dijual kepada pengepul untuk kemudian diolah. Demikian juga dengan para penambang emas. Kalimantan Tengah, khususnya Kabupaten Gunung Mas, memang memendam logam mulian ini, dan seperti hal nya dengan para petani karet, para penambang emas pun kemudian mengumpulkan biji emasnya kepada pengepul yang kemudian di jual lagi untuk di olah. Tidak hanya sebagai petani karet dan penambang emas, beberapa warga juga memiliki usaha sarang burung walet. Seperti yang dilakukan pak Gerisno, diakuinya beru memulai usaha ini beberapa tahun yang lalu. Usaha burung walet yang terlihat sederhana ini ternyata tidak sesederhana itu. modah usahanya mencapai Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah). Bukan angka yang sedikit untuk modal usaha. Meskipun demikian, banyak juga warga lainnya yang memiliki usaha ini sebagai mata pencaharian mereka. 

BUDAYA SETEMPAT

Budaya, banyak mengisahkan hal-hal unik yang tidak terfikirkan tapi selalu berhasil membuat takjub. Tidak berhenti dan tidak ada habisnya untuk membicarakan kebudayaan terutama kebudayaan yang ada di Desa Tumbang Oroi. Pada umumnya, kebudayaan di Desa Tumbang Oroi dipengaruhi dengan kebudayaan Dayak Ngaju seperti pada daerah Kalimantan lainnya. Kebudayaan yang dilandaskan pada keyakinan leluhur masyarakat Kalimantan tengah yang kemudian menjadi kepercayaan masyarakat dan masih bertahan sampai sekarang. Budaya ini menjadi dasar agama dan ritual-ritual adat yang masih dilaksanakan dan bahkan sengaja dilestarikan oleh pemerintah Kalimantan sebagai budaya warisan leluhur yang menjadi salah satu keistimewaan Kalimantan. hal-hal tersebut kita bahas lebih lagi dalam sub-bab berikut.

                        AGAMA

Agama asli yang dianut oleh Suku Dayak Ngaju adalah Kaharingan. Seperti telah dideskripsikan sebelumnya, agama ini dipengaruhi budaya leluhur, dimana kata Kaharingan pada awalnya dipakai pada upacara ritual Dayak Ngaju. Dalam bahasa sangiang (bahasa ritual), kata Kaharingan berarti hidup atau kehidupan. Tahun 1945 Kaharingan diajukan kepada pemerintah pendudukan Jepang di Banjarmasin sebagai penyebutan agama Dayak. Tahun 1950 dalam kongres Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia, Kaharingan resmi dipakai sebagai generik agama dayak. Tahun 1980 para penganutnya berintegrasi dengan Hindu karena Indonesia mengakui 5 Agama (Islam, Keristen, Katolik, Hindu, dan Budha), sehingga menjadi Hindu Kaharingan. Kitab sucinya disebut dengan Panaturan, dan terdapat buku agama yang disebut dengan Talatah Basarah (kumpulan doa) dan Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan tuhan dengan menabur beras). Sejak tahun 1980 Kaharingan dimasukkan sebagai penganut Hindu. BPPS Kalimantan Tengah pada tahun 2007 mencatat ada 223.349 penganut Kaharingan. Kaharingan itu sendiri sangat erat kaitannya dengan Suku Dayak Ngaju, dan bahkan dikatakan sebagai agama asli suku ini. (Tety Rachmawati, dkk 2016)

Tidak hanya Kaharingan, tetapi juga agama Samawi seperti Kristen, Katolik, dan Islam juga menjadi agama yang banyak dianut masyarakat. Di Desa Tumbang Oroi ini sendiri mayoritas masyarakatnya adalah penganut Keristen, Islam dan Hindu Kaharingan.

                        BARAM

Baram sendiri adalah minuman khas suku Dayak Ngaju yang pembuatannya dan waktu meminumnya dilaksanakan untuk ritual tertentu. Baram menjadi sangat sakral karena melambangkan kehidupan. Minuman ini terbuat dari  fermentasi beras dengan rempah-rempah resep leluhur yang masih di jaga sampai sekarang. Para pembuat baram adalah para mama yang secara khusus membuatnya pada setiap diadakannya ritual keagamaan.

Uniknya, baram ini memabukan, masyarakat pun tahu, dampak meminum baram ini seperti apa. Tidak jarang juga terjadi hal-hal yang diluar kendali akibat seseorang terlalu banyak meminum baram. Kami, yang berlatar belakang mahasiswa memberikan edukasi kepada mereka yang mengkonsumsi setiap apa yang memabukan adalah tidak baik. Sedikit terkejut bahwa ternyata masyarakat pun memahami benar bahwa baram yang diminum berlebihan tidak baik dan beberapa warga yang sudah sadar terhadap kesehatan bahkan melarang anak dibawah umur dan wanita hamil untuk mengkonsumsi baram, dan membatasi konsumsi baram pada ritual keagamaan (tidak dikonsumsi berlebihan). Meskipun begitu, banyak juga warga yang masih ingin menikmati baram secara bebas.

Baram menjadi unik sekali, karena minuman ini sekaligus menjadi pemersatu masyarakat dalam setiap ritual keagamaan, namun, disaat yang sama, baram juga menjadi momok yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat sendiri.

                        TIWAH

Sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah meninggal, yang bagi umat Kaharingan hal itu berarti memuliakan orangtua serta leluhur mereka dilaksanakan lah dalam sebuah ritual, manifestasi penghormatan itu terwujud dalam ritual Tiwah dan Napesan. Secara garis besar napesan adalah upacara Tiwah yang dilakukan secara langsung. Orang yang sudah meninggal dunia langsung diTiwahkan dan dimasukkan ke dalam sandung, yaitu tempat berbentuk kotak yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
sandung

sandung

Biasanya orang yang melakukan Tiwah napesan adalah orang yang sudah siap secara finansial karena upacara ini memang menghabiskan biaya yang relatif besar, terutama untuk keperluan mempersiapkan hewan kurban seperti babi. Tetapi pelaksanaan Tiwah napesan ini sesungguhnya juga untuk menyiasati pengeluaran yang justru jauh lebih besar jika melaksanakan Tiwah yang biasa (Tiwah besar). Sedangkan arti dari Tiwah itu sendiri, yaitu ritual kematian tingkat akhir bagi Suku Dayak Ngaju. Ritual Tiwah bertujuan untuk menghantarkan roh orang yang sudah meninggal ke alam baka atau lewu tatau, dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad berupa tulang belulang ke dalam sandung, yang biasanya upacara Tiwah ini dilaksanakan dalam beberapa hari. (Tety Rachmawati, dkk 2016)
  

PERJALANAN KAMI

            PERJALANAN

Suatu pengalaman yang luar biasa dapat ikut dalam kegiatan Stop-Out Palangka Raya yang digalakan oleh LPMI ini. bukan kesempatan yang bisa terulang berkali-kali. Stop-Out itu sendiri adalah Misi ke Borneo yang dilakukan oleh para mahasiswa dengan memanfaatkan waktu libur antar-semester untuk membina masyarakat, serta menyatakan kepedulian sosial. Setiap mahasiswa yang telah menangkap Visi Movement Everywhere, berhenti sejenak (STOP) dari seluruh Kesibukan di kampus dan bergerak ke luar (OUT) untuk berkarya secara langsung dalam masyarakat.

Kesempatan ini tidak kami sia-siakan. Kami giat menggalang dana untuk keberangkatan. Meski dana yang kami kumpulkan bukan untuk membiayai perjalanan kami 100%, karena kami juga menerima subsidi dari LPMI. Dengan penuh hikmat, kami berangkat pada senin, 16 Januari 2017 dengan meeting point di bandara Soekarno Hatta. Hati yang bersuka cita dapat berkenalan dengan orang orang sebaya yang memiliki visi yang sama dari berbagai universitas di berbagai daerah dan berkumpul dalam kegiatan ini. 

Sedikit ricuh ketika 50an orang dalam satu kali perjalanan dan satu penerbangan yang sama. Lucu, karena kami pun merasa seperti anak taman kanak-kanak yang bersemangat untuk pergi bertamasya.


Tim Soraya - Stop Out Palangka Raya
Saya sendiri, sebelum perjalanan sudah mulai banyak mencari informasi mengenai Kalimantan, suku disana, budaya mereka, kondisi alam, sampai hewan dan kebiasaan unik mereka. Bayangan pertama yang muncul adalah bahwa suku di Kalimantan Tengah (yang akan kami datangi) seperti hal nya masyarakat Baduy dalam. Terbayang hutannya yang lebat dan suku-suku pedalaman yang seperti suku baduy (dalam pemikiran saya saat itu), terlebih dengan informasi yang di dapat bahwa akses menuju tempat tujuan adalah dengan off road dan melintasi sungai dengan hewan buas yang masih berkeliaran bebas. Semakin banyak informasi mengenai kalimantan yang saya dapatkan, semakin bersemangat untuk segera menyelami. Saya, secara pribadi sudah mempersiapkan diri, fisik maupun mental untuk setiap kemungkinan yang terjadi. 

Sedikit sharing, salah satu informasi yang saya dapatkan bahwa Kalimantan Tengah termasuk daerah endemik malaria. Takut akan terkena malaria, saya dan beberapa teman memeriksakan konsidi fisik ke klinik dan dokter setempat. Saya sendiri memeriksakan diri pada 3 praktisi kesehatan 1. Klinik Satelit Makara UI (karena saya mahasiswa UI, maka saya mendapatkan akses pemeriksaan), 2. Kimia Farma Bandung (karena saat itu saya berada di Bandung), dan 3. Ayah saya sendiri (karena beliau juga termasuk seorang praktisi kesehatan). Sedikit dibingungkan karena ternyata 3 jawaban berbeda dari 3 sumber yang saya datangi. Sumber pertama, klinik makara, mengatakan bahwa untuk mencegah dapat dilakukan dengan mengkonsumsi obat kina 1 kali sehari selama 2 minggu sebelum keberangkatan. Sumber ke 2, kimia farma bandung, menyarankan untuk mengkonsumsinya 3 kali sehari seminggu sebelum keberangkatan, seminggu selama berada di tempat, dan seminggu setelah pulang kembali. Terakhir, sumber ke 3, ayah saya, beliau mengatakan “olahraga, pastikan kamu fit. Tidak perlu mengkonsumsi obat” merasa sangat simpang siur, saya berusaha mencari via internet. Jawaban yang sama saya dapatkan. Karena pusing, akhirnya saya mencoba mengkonsumsi 1 obat kina 1 hari, tapi, berjalan 3 hari, badan yang fit merasa kurang enak, maka saya menghentikan konsumsi sampai di hari H pemberangkatan saya masih dalam kondisi pemulihan akibat konsumsi obat kina tersebut. Sementara teman saya yang rutin mengkonsumsi sesuai anjuran (1 kali 1 hari) masih sakit dan baru menghentikan konsumsi obat. Dari sini aku belajar bahwa benar apa yang dikatakan ayah, bahwa tidak perlu pencegahan dengan konsumsi obat, tapi pastikan untuk tidak terkena gigitan nyamuk, dan pastikan kamu dalam kondisi fit. BANG!

 MENUJU PALANGKA RAYA

Semua tentang suku baduy dalam yang sempat saya bayangkan hancur seketika ketika meninjakan kaki di bandara Tjilik Riwuk. Sama hal nya dengan kondisi bandara di kota-kota lainnya, bagitu pula yang terjadi di kalimantan Tengah ini. ada Mall dan angkutan umum, meski jarang.




Kami menginap di Wisma yang baru diresmikan dan kami adalah penghuni pertama dari wisma ini. terlaihat semua furniture masih baru dan menyenangkan sekali.


Sambutan kami di Wisma, dan kendaraan menuju Desa Tumbang Oroi

MENUJU DESA TUMBANG OROI

Tim kami berjumlah 7 orang terdiri dari saya sendiri (Wanura N. Belbandeya), Novera, Aquila Carol Adimurti, Chandra L. Silitonga, Merry E. Wattimena, Lisma Simanjuntak, dan Romel Arthur Lumolos, yang mengekposisi Desa Tumbang Oroi.

Tim Desa Tumbang Oroi
Setelah pembagian kelompok, kamibergegas packing untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Tumbang Oroi. Perjalanan yang sangat menyenangkan, berliku dan curam. Karena badan kurang fit akibat masih dalam masa pemulihan, sempat merasakan mual.

Danau Biru
Hal yang indah ketika kami mampir ke danau biru. Pemandangan yang indah sekaligus memprihatinkan, karena ternyata, danau ini adalah hasil penggalian tambang yang tidak di uruk dan diperbaikikembali ekosistemnya, meskipun demikian, danau ini terlihat indah.
 


MEMBAUR DENGAN MASYARAKAT

Sampai di Desa Tumbang Oroi, desa dengan jumlah kurang lebih 100 kepala keluarga ini tidak terlalu luas memang, kita bisa mengelilinginya dengan berjalan kaki dalam satu hari. Belum ada patok perbatasan desa yang jelas di Tumbang Oroi ini. akses menuju Desa Tumbang Oroi sekitar 5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil dari Kota Palangka Raya. Tidak ada kendaraan umum yang menghubungkan kota Palangka Raya dengan Desa Tumbang Oroi. Satu-satunya cara adalah dengan menyewa Taxi. Eits, bukan taxi seperti yang kita temui di kota kota besar. Taxi disini, umumnya adalah kendaraan pribadi yang memang disewakan khusus untuk mengantar wisatawan ke daerah daerah tujuan wisata. Tapi jangan salah, Desa Tumbang Oroi bukanlah Desa Wisata, karena kebanyakan tempat wisata ada di Kota Palangka Raya. Supir taxi nya pun bukan orang sembarangan. Melainkan penduduk sekitar yang memang sudah terbiasa dengan medan tanah merah yang curam yang rawan selip.

Hari pertama di Tumbang Oroi, kami menginap di pastori setempat. Tentu tidak ada hotel/wisma selayaknya desa wisata. Sambutan yang sangat hangat oleh vikaris setempat, kami memanggilnya Kak Nana, bukan penduduk asli Desa Tumbang Oroi, Kak Nana berasal dari Banjar yang sedang bertugas melayani di desa Tumbang Oroi. Hangatnya sambutan Kak Nana, membuat kami merasa tidak sedang di “desa orang lain” suasana sangat santai dan pecah bersama Kak Nana. Menyadari kami adalah orang asing disana, kami memperkenalkan diri sekaligus meminta izin tinggal beberapa hari kedepan kepada kepala desa setempat. (lagi,) sungguh sambutan yang sangat hangat dari mereka dengan mengantar kami dan memberi setiap informasi yang kami butuhkan tentang segala sesuatu mengenai Desa Tumbang Oroi ini. mengenai do and don’t, adat, kebiasaan dan persfektif penduduk kepada pedatang. Desa ini sangat jarang menadapatkan kunjungan dari luar, sehingga kami sangat di sanjung dan mendapatkan sebutan “mahasiswa dari Jakarta”. Hampir dalam setiap acara, dalam sambutan tokoh masyarakat setempat menyebut kami: Mahasiswa dari Jakarta, meskipun latar belakang kami notabene dari berbagai kampus yang berbeda (UI, ITB, IPB, UPR, Unpad dan kampus lainnya). Adanya perbedaan bahasa dan budaya membuat kami harus menyesuaikan diri. Tidak begitu sulit, karena anak-anak penduduk sekitar fasih berbahasa Indonesia dan berkenan mengajari kami bahasa dasar Dayak Ngaju. Sedikit menggunakan catatan ketika kami belajar bahasa dayak ngaju.  Bahasa bahasa sederhana yang di ajarkan kepada kami seperti bagaimana mengucap salam san hitungan sederhana serta hirarki keluarga. 

Hari ke-2 kami di Desa Tumbang Oroi.

Menikmati matahari terbit di desa ini dengan segala kehangatannya. Pukul 6 pagi, sudah terang sekali matahari menyinari desa ini, hangat terasa ketika cahaya matahari mengenai kulit kami. Hari ini agenda kami adalah untuk mengunjungi rumah-rumah warga sekaligus beramah tamah. Kami mengunjungi rumah pak Gerisno, seorang kepala sekolah SDN Tumbang Oroi.

Siswa/i SDN Tumbang Oroi
Hari ke-3 
Kunjungan ke sekolah SDN Tumbang Oroi,  senam bersama, PI, dan mengajar (kelas 3,4,5, dan 6)  mata ajar Matematika, IPA, berdiskusi dengan guru-guru, Visit/kunjungan ke rumah warga dan Nonton Bareng Film dalam Bahasa Dayak Ngajuk. 

Hari ke-4 
Mengajar di SDN Tumbang Oroi, Ibadah seluruh siswa/i di SDN Tumbang Oroi, Visit ke rumah warga.

Bersama Para Pengajar SDN Tumbang Oroi
Hari ke-5 
Senam bersama, Latihan PBB  & Upacara Bendera untuk siswa/i SDN Tumbang Oroi, Penyuluhan narkoba di SDN Tumbang Oroi, Penyerahan Cinderamata untuk Desa Tumbang Oroi, Visit, Training MC, Penyuluhan Pernikahan dini dan belajar bahasa Inggris bagi anak-anak di Tumbang Oroi, Open House, penyerahan Cinderamata untuk Pastori dan Gereja, Perpisahan.

 Hari ke-6
Pelepasan dan kembali Ke Palangka Raya.
Setiap harinya kami pakai untuk benar-benar berbaur dan merasakan bagaimana menjadi masyarakat di sana. Mencari makanan, mengolahnya sampai pesta bersama mereka dan konsultasi pada setiap visitasi ke rumah-rumah penduduk membuat kami semakin terenyuh, betapa kita sangat beruntung atau sangat sial menjadi warga yang sangat terbuka akan akses informasi. 

Desa ini tidak sendiri. Banyak desa lain yang mengubur segala potensinya untuk ditinggal tidur.

            YANG KAMI PELAJARI

Tidak hanya Desa Tumbang Oroi, 8 desa dengan budaya yang sama dengan agama asli Kaharingan, memiliki kebudayaan dan kehidupan yang sama. Dengan keterbatasan informasi ‘dunia luar’ yang katanya sudah maju. Mengetahui ini, apa yang kita lakukan, sebagai warga yang ‘sudah lebih maju’? menjadikan ini sebagai pengetahuan saja, bahwa “ada loh di Indonesia masyarakat yang masih terisolasi dari komunikasi dan informasi” atau membiarkan itu terjadi secara alami karena itu tidak berdampak signifikan bagi kehidupan kita sebagai warga yang lebih maju? atau mengambil tindakan movement?!

Itu pilihanmu. Pergerakan dan tindakan yang kita pilih-pun berdasarkan hasil pemikiran kita dengan mempertimbangkan beneficient factor bagi banyak pihak; bagi pemberi intervensi, bagi yang diintervensi dan bagi sponsor pendukung. Renungkan, banyak potensi sumberdaya manusia yangluar biasa yang masih terhalang oleh Kilau emas dan terkubur bersama lebatnya hutan Kalimantan.

Duduk, mempelajari banyak hal mengenai stastus sosial dan ilmu lainnya, akan semakin menambah wawasan pengetahuan dan mengubah persfektif serta langkah intervensi dari hasil pemikiran. Tapi tidak semua orang dengan perbendaharaan ilmu pengetahuan dan wawasan mau untuk mengambil langkah inisiatif yang memberikan perubahan. Sebagian, melakukannya untuk menguatkan diri dalam berdebat, dan menjadi orang ‘pintar’. 

Jadi, masih hanya akan duduk dan menambah lebih banyak lagi pengetahuan dan perbendaharaan ilmu?















Comments

Popular posts from this blog

KTM BARU!

Organisasi Hebat Ismakes

Orang yang ke psikolog itu bermasalah! (yakin?)